MENYELAMATKAN ANAK
(Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli 2007)
Oleh : Hadi Supeno
Pemerhati dan praktisi pendidikan anak, tinggal di Magelang
Anak
adalah Bapak masa depan. Siapapun yang berbicara tentang masa yang akan
datang, harus berbicara tentang anak-anak. Menyiapkan Indonesia ke
depan, tidak cukup hanya berbicara soal income per capita, pertumbuhan
ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya. Sesuatu yang
paling dasar adalah, sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga,
masyarakat, dan negara.
Membuat perencanaan masa depan tanpa
memperhitungkan variabel anak adalah sebuah pikiran amoral dan
ahistoris, karena tidak meletakkan manusia sebagai faktor determinan
dalam perubahan masyarakat. Bila itu terjadi, maka dalam prosesnya akan
dengan mudah melupakan faktor-faktor kepentingan anak, dan lebih untuk
menuruti egoisme manusia dewasa yang berfikir hanya untuk kepentingan
sesaat.
Anak-anak karena ketidakmampuan, ketergantungan dan
ketidakmatangan, baik fisik, mental maupun intelektualnya perlu
mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa).
Perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak adalah kewajiban agama dan
kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.
Wajah muram
Sayangnya
anak-anak Indonesia belum semuanya bisa tertawa gembiara dan hidup
dalam dengan penuh pengharapan. Sebagian dari mereka hidup dalam
suasana muram, penuh tekanan, bahkan ancaman yang menurunkan derajat
peradaban kemanusiaan.
Serbuan hedonisme, materialisme, dan
kebudayaan yang massif atas nilai-nilai moral dan agama adalah sesuatu
yang sesungguhnya sangat mengkhawatirkan bagi tumbuhnya generasi muda
yang diharapkan akan membawa negeri ini mencapai peradaban tertinggi.
Demikian juga masalah kemiskinan yang belum beranjak pergi, menjadikan
persoalan anak belum surut. Dalam situasi kemiskinan, perempuan dan
anak-anak adalah kelompok yang paling menderita. Tingkat kesejahteraan
mereka menurun, yang berarti hak-hak mereka sebagai anak kurang
terlindungi.
Gambaran suram
Data berikut
memberikan gambaran bagaimana masih buramnya dunia anak di Indonesia.
Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), kondisi
kesehatan dan gizi adalah; (a). angka kematian bayi, tahun 2002/2003
sebesar 35/1000 atau terdapat 35 bayi yang meninggal di antara 1000
bayi yang dilahirkan, atau berarti setiap hari ada 430 kematian bayi di
Indonesia; (b). kematian balita, sebesar 46/1000 atau setiap hari ada
566 kematian balita; (c). status gizi, pada tahun 2005 jumlah anak
kurang gizi sekitar 5 juta dan anak gizi buruk sekitar 1,5 juta, dan
150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat (marasmus-kwasiorkor).
Jumlah anak yang meninggal akibat gizi buruk tersebut mencapai 286
anak; (d). air susu ibu (ASI) eksklusif, yakni ibu yang menyusui bayi
di atas 4 bulan mengalami penurunan dari 65,1 % pada Susenas 1998
menjadi 49,2% pada Susenas 2001.
Dalam sektor pendidikan;
(a).angka partisipasi sekolah, tahun 2004 untuk anak usia 13-15 tahun
sebesar 83,4 % sedangkan untuk anak usia 16-18 tahun sebesar 53,4 %;
(b). angka mengulang kelas, data tahun 2004/2005 menunjukkan persentase
sebesar 5,4 % untuk anak usia SD dan 0,44 % untuk SMP/Mts; (c). angka
putus sekolah, tahun 2005/2006 menunjukkan sebesar 2,96 % untuk SD/MI
dan 1,6 % untuk SMP/MTs; (d). angka melanjutkan sekolah, tahun
2005/2006 mencatat hanya 72,5 % anak yang melanjutkan pendidikan ke
tingkat SMP/MTs.
Aspek perlindungan anak lebih
memprihatinkan; (a). anak tanpa akte kelahiran, berdasarkan hasil
Susenas 2001 angkanya mencapai 60 % atau anak yang sudah memiliki akte
kelahiran baru mencapai 40%; (b). anak korban kekerasan dan perlakuan
salah, menurut laporan kepolisian pada tahun 2002 tercatat 239 kasus
dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 326 kasus; (c). anak jalanan,
diperkirakan secara nasional mencapai 60.000-75.000 dan menurut
Departemen Sosial 60 % di antaranya putus sekolah; (d) anak yang
berkonflik dengan hukum, setiap tahun terdapat lebih dari 4.000 perkara
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak di bawah usia 16 tahun. Data
lainnya menyebutkan hingga tahun 2002 terdapat 3.722 anak yang menjadi
penghuni lembaga pemasyarakatan.
Lebih mengerikan, data di
Badan Narkotika Nasional menyebutkan anak korban penyalahgunaan
narkoba, 70 % dari 4 juta pengguna narkoba adalah anak berusia 4-20
tahun atau sekitar 4 % dari seluruh pelajar yang ada. Sedangkan kasus
AIDS/HIV, hingga Desember 2005 terdapat 4.243 kasus HIV, dan 5.320
kasus AIDS. Dari jumlah tersebut 438 kasus terjadi pada anak usia 0-19
tahun. Sementara korban kerja paksa, trafficking, pelacuran anak, dan
anak-anak di pengungsian belum tersedia data yang memadai. Tetapi
diyakini, jumlahnya mencapai ribuan anak.
Rencana aksi
Data
di atas sangat jelas menugaskan kepada kita untuk menyelamatkan anak
dari berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Dari segi
perundang-undangan sesungguhnya telah cukup memadai. Kecuali telah
meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak Internasional, Indonesia juga telah
memiliki Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tetapi payung hukum itu rupanya belum cukup efektif membebaskan
anak-anak Indonesia dari berbagai masalah fundamental.
Oleh
karenanya, sejumlah langkah konkret masih perlu segera dilakukan.
Pertama, pencerahan terhadap masyarakat akan pentingnya perlindungan
anak melalui sosialisasi berkelanjutan tentang ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, utamanya pengetahuan tentang hak-hak
anak yang harus diperoleh.
Kedua, mendorong aparat hukum
untuk melakukan langkah aktif intensif bahkan ofensif dalam pembasmian
segala bentuk eksploitasi dan kejahatan terhadap anak-anak. Hukuman
yang berat harus dijatuhkan kepada mereka yang mengeksploitasi dan
merusak masa depan anak utamanya menyakut pelibatan anak dalam
perdagangan narkoba, trafficking, pelacuran anak, serta tindakan
sejenisnya.
Ketiga, menciptakan model pendidikan alternatif
bagi anak-anak bermasalah, serta penyadaran hak-hak anak melalui
kurikulum integrated dalam proses belajar mengajar pada lembaga-lembaga
pendidikan.
Keempat, menjadikan perlindungan anak sebagai
sebuah gerakan, yang melibatkan seluruh unsur dan potensi masyarakat
baik lembaga pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, tokoh
agama, dunia usaha, media massa, dan jaringan internasional.
Langkah-langkah
tersebut dirangkum dalam sebuah rencana aksi, yang dipimpin langsung
oleh pemerintah melalui instansi terkait maupun Komisi Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI) yang berdasarkan UU No23/2002 ditugaskan untuk
mengawal penyelenggaraan perlindungan anak Indonesia. Mengingat berat
dan mendesaknya persoalan, kiranya rencana aksi itu sebuah keniscayaan
yang tak bisa ditunda lagi pelaksanaannya dan tanpa diskusi.
Pada
saat kita memperingati Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 ini, kiranya
menjadi momentum yang paling tepat guna membulatkan komitmen kita dalam
menyelamatkan dan melindungi anak-anak Indonesia.