Spiral kekerasan di masyarakat terus bergulir meski kata damai, aman,
sakinah, dan lainnya juga terus membanjir dari pendidik, tokoh
masyarakat, hingga pejabat pemerintah.
Dalam praktik kekerasan
itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis,
mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang
dewasa.
Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan
seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan
perlawanan (Darwin, 2000). Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan
tindakan fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada
kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak
tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian
bagaimana cara penyembuhannya.
Kekerasan meningkat
Data
di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari analisis
19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007,
terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung
diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus kekerasan terhadap anak
(KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41 persen di antaranya
terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41 persen lainnya
terkait pemerkosaan. Sisanya, 7 persen, terkait tindak perdagangan
anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 persen tindak penganiayaan, sisanya
tidak diketahui.
Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak
mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA mengalami peningkatan sampai
300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi
sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).
Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya
diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan,
pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai
eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian
anak, penyanderaan, dan sebagainya.
Data di KPAI menunjukkan,
dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor
dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan
jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data
pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang
paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan
tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan
pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis kekerasan
yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan
mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional
atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu
dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan
orangtua/wali murid kepada KPAI.
Kekerasan di sekolah
Pertanyaannya,
mengapa guru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak? Bukankah guru
semestinya menjadi pihak yang paling melindungi anak setelah orangtua?
Boleh jadi karena guru mengalami tekanan kehidupan yang kian berat,
baik yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial, kehidupan profesi,
maupun tekanan psikis lain yang mendorong guru melakukan tindak
kekerasan terhadap murid.
Selain itu, anak-anak juga mengalami
kekerasan yang dilakukan teman-teman sebaya melalui kegiatan
perploncoan pada awal tahun ajaran. Berita perilaku kekerasan oleh
teman sebaya yang dilakukan Geng Nero di Pati (Kompas, 19/6/2008) juga
menjadi alasan mengapa orangtua mengkhawatirkan keamanan anak-anaknya
di sekolah.
Tanggung jawab orangtua
Apa pun alasannya,
sekolah bukan lagi tempat yang aman bagi anak-anak. Maka, selayaknya
siapa pun menaruh perhatian lebih besar terhadap keamanan anak di
sekolah.
Pertama, kita harus menegakkan prinsip perlindungan
anak sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak Anak PBB dan UU No 23/2002
tentang prinsip perlindungan anak, yaitu the best interest for children
(kepentingan terbaik bagi anak). Implementasinya, semua perencanaan
manajemen sekolah dan para pihak harus mempertimbangkan aspek-aspek
perlindungan anak, dari bagaimana anak beradaptasi, anak berkomunikasi
dengan sekolah, perlakuan senior terhadap yuniornya, perlakuan guru
terhadap siswa, aneka peraturan yang menekan siswa, hingga kepastian ke
mana dan dengan siapa seorang anak pergi pulang sekolah.
Kedua,
orangtua tak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitu saja kepada
sekolah karena merasa sudah membayar berbagai pungutan dan menganggap
segalanya beres. Sebagai pelindung utama, orangtua tetap merupakan
pihak paling bertanggung jawab atas keselamatan anak hingga dewasa.
Karena itu, pengawasan seperti apa anak- anak diperlakukan oleh sekolah
harus tetap diketahui orangtuanya.
Ketiga, birokrasi
pendidikan harus lebih intens memantau budaya sekolah dan karakter para
guru sehingga yakin anak-anak dijamin aman secara pisik dan psikis
selama di lingkungan sekolah. Perekrutan guru di masa kini bukan hanya
berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih menyangkut aspek stabilitas
mental, kapasitas intelektual, dan profesionalitas.
Sekolah
jangan sampai menjadi penampungan orang-orang frustrasi, atau
bermasalah, atau sekadar pekerjaan antara sebelum mendapat pekerjaan
lain karena pada saatnya kondisi mental yang ada akan dilampiaskan
dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap siswa.
Lebih dari
itu, fakta-fakta kekerasan terhadap anak di sekolah bukan saja
membuktikan bahwa sekolah bukan panacea bagi penyembuhan problem
sosial, tetapi justru sebaliknya menjadi sumber masalah baru yang lebih
berat dan kompleks.
Kekerasan terhadap anak di sekolah harus
diwaspadai karena Sigmund Freud mengatakan, anak akan memperlakukan
orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain
pada masa anak-anak (Corey, 2001). Jadi, jika kini anak-anak
diperlakukan dengan penuh kekerasan, kelak mereka akan menjadi pelaku
kekerasan yang mungkin jauh lebih hebat dibandingkan perlakuan
kekerasan yang diterima saat anak-anak.
Sebelum spiral
kekerasan itu melenting beramplitudo mewujud dalam bentuk yang dahsyat
dan mengerikan, kita harus lindungi anak-anak Indonesia dari kekerasan
di sekolah. Jadikan sekolah sebagai tempat pendidikan ramah anak.
Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008.
Hadi Supeno Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)