SANGGAR ANAK ZAMAN INDONESIA sebuah wadah dimana potensi hak anak wajib kita perjuangan
PENDAHULUAN
SERING orang tua bertanya, mengapa watak,
kemampuan, dan perilaku anaknya yang sekarang sekolah di SMA
”tiba-tiba” tampak berbeda dengan teman-teman lainnya, padahal ia
mengalami masa kecil yang sama dengan teman-teman pada umumnya?
”Bukankah anakku juga minum susu, makan nasi, daging, juga buah dan
sayur, plus ice cream, bahkan multi vitamin?”
Pertanyaan itu terus
berlanjut. Mengapa anak tetanggaku jadi anak penurut sedang anakku
sangat pemberang, anak tetanggaku selalu tersenyum sedang anakku selalu
cemberut, anak tetanggaku bisa sangat bandel sedangkan anakku mudah
menangis, anak tetanggaku bisa menyanyi dengan suara merdu sedang
anakku bersuara sumbang, anak tetanggaku bisa pintar melukis sedang
anakku suka mebuat grafiti di tembok rumah? Anak tetanggaku selalu
menjadi juara kelas sementara anakku suka tawuran? Apakah ini karena
takdir? Kalau begitu mengapa takdir baik selalu jatuh pada orang lain,
sementara takdir jelek selalu pada diri saya?
Pertanyaan
gugatan di atas mencerminkan, bahwa kita lebih suka melihat kepada
hasil yang dicapai daripada proses. Kita sering tidak peduli pada
proses karena maunya cepat jadi atau ingin instan, maka yang ditempuh
adalah jalan pintas. Hasilnya adalah anak seolah-olah bisa; padahal
yang terjadi adalah sesuatu yang semu, palsu dan lebih pada ambisi
orang tua, bukan kebutuhan anak.
Seperti apa anak setelah dewasa,
atau ketika memasuki masa belajar di SMA, SMP bahkan masih di SD,
sesungguhnya amat bergantung pada bagaimana orang tua mengasuh anak
pada usia lima tahun pertama. Masa ini adalah masa kegemilangan ruang
intelektual, emosi, spiritual dan motorik anak, sehingga para ahli anak
menyebutnya sebagai masa golden age. Para peneliti menyimpulkan
pembentukan intelegensia seorang indivisu 50 % berlangsung pada usia
1-4 tahun, hingga usia 8 tahun menjadi 80 % dan mencapai 100 % pada
usia 18 tahun.
PANDANGAN TENTANG ANAK
Ada beberapa
pandangan dasar tentang anak. Pertama, pandangan lama yang menganggap
bahwa anak lahir dengan membawa takdir yang tidak bisa diubah berupa
bakat dan kemampuan yang tak bisa diubah. Jangan paksa anak untuk
melukis atau menyanyi atau menari, karena melukis-menyanyi-dan menari
adalah bakat yang dibawa sejak lahir, begitulah kira-kira aliran ini
melihat anak.
Konsekuensinya, untuk apa upaya manusia
mengembangkan anak, sebab bukankah anak sudah ditakdirkaan dalam
bakat-bakat tertentu? Pendidikan tidak akan mampu mengubah bakat,
pengasuhan tidak akan mengubah takdir. Pada saatnya, secara alamiah
bakat anak akan muncul, tanpa jasa dari orang tua atau guru.
Kedua,
aliran Tabularasa, dikemukakan oleh John Locke, yang melihat anak lahir
dalam kondisi putih bersih laksana meja lilin yang akan ditulisi apa
saja bisa bergantung kemauan orang tua. Pandangan ini menolak
keberadaan bakat bawaan pada anak. Tugas orang tua adalah menulisi meja
tersebut, mau seperti apa yang paling menentukan adalah orang tua dan
guru. Oleh sebab itu orang tua berperan mengarahkan ke mana anak akan
dibawa dengan konsep yang sudah disiapkan.
Pandangan lain
yang lebih maju dikemukakan oleh Jean Piaget. Menurutnya anak lahir
dengan segala keunikan potensi, yang antara satu dengan yang lainnya
tidaklah sama, bahkan anak kembar sekali pun. Tugas orang dewasa adalah
menyiapkan lingkungan yang memungkinkan potensi-potensi yang dimiliki
anak bisa berkembang optimal, baik potensi nalar ( intelegensi), rasa
(emosi), spiritual, maupun ketrampilan (motorik).
Potensi
intelegensia anak akan berkembang pesat bila orang tua menyediakan
perpustakaan atau bahan-bahan bacaan lainnya. Potensi emosi akan
menjadi optimal manakala orang tua menyediakan suasana keluarga yang
harmonis, hubungan kasih sayang antaranggota keluarga. Demikian pula
potensi motorik akan bangkit bila ada ruang daan fasilitas yang
mendukung, tanpa itu tentulah akan sulit berkembang, apalagi bila yang
tersedia adalah hal yang sebaliknya.
Abraham Maslow
melengkapi pemikiran tersebut dengan teori motivasi. Menurutnya,
potensi-potensi unik sorang anak akan muncul apabila diberi motivasi
dengan cara penyampaian wawasan, contoh orang tua, pergaulan dengan
teman lain, maupun pengalaman langsung.
POLA ASUHAN SEBAGAI KUNCI
Mencermati
pendapat di atas dengan memasukan pengalaman yang selama ini kita
peroleh memberikan pengertian kepada kita bahwa kata kunci sukses
mengantarkan anak menuju perkembangan optimal adalah pada pola asuhan.
Seperti apa kita menerapkan pola asuhan, itulah bentuk karakter
perkembangan anak yang akan terjadi.
Pola asuhan yang
melekat adalah siapa yang paling dekat dengan seorang anak. Apabila
yang paling dekat adalah ibu, maka watak-watak ibu akan berpengaruh.
Bila yang dekat adalah ayah maka watak ayahlah yang akan membekas.
Demikian pula bla ternyata guru di Taman kanak-kanak yang paling dekat,
maka perilaku anak akan mengikuti gurunya. Begitu pula bila yang paling
dekat adalah baby siter atau pembantu, maka karakter pembantulah yang
akan melekat pada jiwa anak.
Sering orang tua tiba-tiba
kaget mengapa si kecil tidak mau lagi menuruti perintahnya, bahkan suka
membantah. Sebaliknya ketika diperintah oleh pembantu justeru sangat
menurut, lalu menyalahkan pembantu jangan-jangan selama ini diajari
agar anaknya tidak mematuhi perintahnya. Ia tidak menyadari bahwa
selama ini perhatian yang diberikan kepada si kecil memang sangatlah
kurang karena kesibukannya.
Itulah maka kedekatan dengan si kecil harus dibangun sejak dini.
INISISASI DINI ASI
Pola
asuhan dimulai sejak anak lahir, malahan ketika anak masih dalam
kandungan. Begitu anak lahir tanpa perantara siapapun anak diinisiasi
untuk menikmati air susu ibu (ASI). Di dalam ASI lah pertalian ibu dan
anak sangat sangat kuat tak ada yang menandingi. Tinjauan medis paling
mutakhir menunjukkan, bahwa di dalam ASI bukan hanya termuat gizi yang
sangat tinggi, tetapi juga zat-zat inti perekat antara seorang anak dan
ibu. Memisahkan anak dengan ASI sama dengan memisahkan anak dengan
kehidupan, karena di sanalah ia berasal dan menemukan kehangatan,
harapan, lindungan, dan kemutlakan cinta.
Dengan alasan
apapun, anak harus diberi hak utama yaitu menikmati air susu ibu. ASI
tidak akan tergantikan oleh susu formula macam apapun. Susu formula
hanya menyediakan gizi semu, sedangkan ASI mengandung gizi sejati,
cinta, harapan, bahkan aneka zat kekebalan tubuh yang melindungi anak
dari bebagai penyakit. Menyediakan berbagai fasilitas kepada anak tanpa
menyediakan ASI sesungguhnya seperti memberikan tubuh tanpa memberikan
jiwanya.
Inisiasi diberikan dalam waktu 30-60 menit
setelah kelahiran, tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Bila ini
dilakukan selama minimal 6 bulan (ASI eklusif) maka akan terjadi
latihan reflek berfikir sekaligus pencegahan terhadap serangan penyakit
menular atau infectious disease (Utami Rusli, 2007).
Boleh
dikatakan, perlakukan apapun menjadi sia-sia bagi masa depan anak
apabila orang tua tidak memberikan ASI eklusif. Potensi anak akan
berkembang secara optimal, bila dalam hidupnya menikmati ASI eklusif.
JANGAN MELARANG
Kesalahan
paling fatal orang tua adalah kegemarannya melarang banyak hal kepada
anak-anak kita. Rupanya kegemaran ini juga menjadi ciri khaas orang
deawasa di banyak negara, sehingga UNICEF pada tahun 2000 mencanangkan
gerakan ”Say Yes For Children” ( Katakan Ya, untuk anak).
Bayangkan;
anak menangis dilarang, anak bangun malam dilarang, anak menggigit kain
dilarang, anak berteriak dilarang, anak ikut ke mana orang tua pergi
dilarang, anak bermain dengan teman-teman di luar di larang, semua
pendidikan bentuknya larangan. Akibatnya anak diam-diam menyimpan
tekanan jiwa. Sublimasinya, ia tetap akan melakukan apa yang diinginkan
bila tidak ada orang tua, atau menjadi apatis dengan tidak melakukan
apapun karena pasti akan dilarang oleh orang tua.
Untuk
diingat, menangis adalah satu-satunya ekpresi anak di awal
kehidupannya, maka tidak seharusnya ia dilarang untuk menangis. Bermain
juga adalah media eksplorasi anak dalam mengenal lingkungannya dan
mengekspresikan impuls-impuls dalam dirinya. Bermain yang bagi orang
tua sesuatu yang tidak serius dan hanya membuang waktu, bagi seorang
anak adalah dunia yang sangat penting karena di sanalah ia mencari
eksistensi diri. Bagi anak, waktu 24 jam masih kurang untuk bermain.
Yang
diperlukan orang tua adalah memastikan bahwa tempat di mana anak
bermain adalah tempat yang bersih dan aman. Selebihnya biarkan anak
mengekplorasi diri karena disinilah anak berlatih seluruh potensi unik
yang dimiliki.
PERAN ORANG TUA DAN GURU
Dengan
perspektif seperti itu, di manakah peran orang tua dan guru Taman
Bermain/Taman kanak-kanak/PAUD? Pertama, orang tua sebagai fasilitator
yaitu menyediakan lingkungan dan sarana belajar anak untuk
mengembangkan potensinya. Ank punya minat musik akan berkembang apabila
mendapat dukungan fasilitas yang berhubungan dengan musik seperti alat
musik, buku-buku tantang musik, kesempatan menonton musik, bergaul
dengan para pemusik dan sebagainya. Demikian juga untuk minat-minat
yang lain. Asumsinya, semakin dipenuhinya fasilitas yang dibutuhkan
anak, akan semakin berkembang potensi-potensi yang dimiliki seorang
anak.
Kedua, orang tua sebagai motivator. Peran ini
dilakukan dengan memberikan dorongan dan dukungan bagi berbagai hal
yang menjadi minat seorang anak. Apabila anak melakukan kekeliruan
tidak disalahkan atau disudutkan tetapi diberi berikan bimbingan dengan
kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat. Ketika anak memasukkan
bola ke gawang, tidak dvonis anak itu bodoh dan tak mampu menjadi
pemain bola. Sebaliknya orang tua akan berkata;”Wah hebat, tendanganmu
sudah keras, tetapi akan lebih baik kalau juga tepat sasaran. Cobalah
tenang sedikit sehingga bola yang kamu tentang akan masuk e gawang’’.
Ketiga,
orang tua sebagai inisiator, yaitu contoh atau teladan bagi anak-anak.
Contoh atau teladan akan lebih mudah tertanam di dalam benak anak, dan
pada gilirannya akan menjadi habitus yang akan berlanjut hinga dewasa
kelak. Janganlah kita merokok bila kita ingin anak merokok, janganlah
suka marah-marah bila tidak ingin anak kita menjadi pemberang,
janganlah suka bicara kotor bila kita inginkan anak-anak berlaku sopan
santun.
Keempat, mendengarkan suara anak. Ini sangat
penting karena apa yang diinginkan anak dengan yang kita pikirkan
tentang anak sangat berbeda. Orang tua sering menganggap bahwa dengan
memberikan pakaian bagus dan makanan enak ia sudah memenuhi keinginan
anak. Tetapi jangan kaget karena ketika kita minta agar anak kita
menuliskan secara bebas tentang apa yang diinginkan, keinginan anak
berbeda dengan keinginan orang tua sperti; ”Saya ingin Ibu sering
membelai rambut saya”, ”Saya ingin ayah tidak suka berteriak-teriak
memarahi pembantu”, ”Saya ingin ayah dan ibu pernah nonton teve
bareng”, dan sebagainya, keinginan-keinginan yang kelihatannya sangat
ringan, tetapi sangat penting bagi pemenuhan hak-hak anak.
PERAN TAMAN BERMAIN
Bermain
adalah hak anak yang harus dipenuhi. Bermain bagi seorang anak adalah
saat di mana ia bisa mengekspresikan semua potensi yang ada dalam
dirinya. Dengan demikian, anak yang semasa kecil ha-hak bermainnya
tidak dipenuhi karena berbagai lasan, berarti ia telah kehilangan masa
anak-anaknya.
Di dalam bermain seorang anak akan beajar
berkomunikasi dengan orang lain (atau bayangan orang lain), menjelajah
lingkungan hidup, belajar bersosialisasi, belajar kedisiplinan,
kejujuran, kerjasama, saling membantu bagi yang membutuhkan, serta
belajar kasih sayang dengan orang lain. Tiada kegiatan paling penting
bagi seorang anak kecuali bermain. Melarang bermain berarti melarang
menjadi anak.
Peran Taman bermain (TK/Kindegarden/PAUD)
dan sebagainya dengan demikian menjadi amat penting posisinya, yaitu
menjembatasi anak dalam masa transisi dari masa anak-anak ke dalam masa
bersekolah. Tugas guru adalah menyediakan ruang ekspresi bagi anak.
Oleh karena itu Taman Kanakkanak akan lebih memiliki arti bagi
perkembangan anak apabila banyak memiliki fasilitas bermain.
Mengajarkan kejujuran dan kedisiplinan tidak mungkin hanya dengan
ceramah, dipastikan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bermain peran,
adalah metode yang jauh lebih cocok untuk target tersebut.
Demikian
juga mengajarkan membaca-menulis dan berhitung kepada anak-anak TK
tidak akan menghasilkan apapun kecuali kebanggaan semu dari orang tua.
TK bukan bukan sekolah dengan administrasi ketat. TK adalah taman
bermain yang harus dikondisikan seperti di rumah dengan memberikan
stimulus agar anak mulai belajar mandi sendiri, makan sendiri, mencuci
tangan, berimajinasi dan sebagainya.
Sayangnya banyak
orang tua keblinger, dikiranya apabila sejak TK sudah bisa membaca dan
menulis maka akan menjamin di masa sekolah ia akan lebih pandai
dbandingkan teman-temannya. Guru-guru TK pun kemudian dengan bangga
memamerkan kepada teman-teman guru dari TK lainnya, bahwa di TK nya
anak-anak sudah diajari membaca menulis dan berhitung bahkan bahasa
Inggris. Ia tidak tahu, itu semua salah dan tak akan menolong anak-anak
di masa depan dari kehidupan pelik yangdihadapi orang deawasa. Lebih
ngawur lagi, ada SD yang dalam penerimaan siswa baru mensyaratakan
pendidikan Taman kanak-kanak.
PRAKTEK KEKERASAN DI SEKOLAH
Satu
prinsip yang harus dipedomani adalah tidak boleh ada praktek kekerasan
pada anak-anak, baik di rumah, taman bermain maupun sekolah. Anak-anak
yang mengalami kekerasan akan trauma, dan secara langsung akan
berpengaruh pada berkembangnya daya-daya intelektual anak.
Sayangnya
dalam praktek keseharian kita masih suka melakukan tindak kekerasan
apabila merasa galal menyampaikan pesan kepada seorang anak atau merasa
disepelekan anak, atau karena alasan lainnya. Disebabkan
ketidakberdayaan fisik maupun psikis ketika menghadapi kekerasan yang
dilakukan oleh orang tua, akhirnya banyak jatuh korban tindak kekerasan
pada anak.
Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang
menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa
melakukan perlawanan. Di masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan
fisik semata, tetapi sekarang sudah lazim digunakan ada kekerasan fisik
dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir tersebut memang lebih sulit
mengukurnya karena tidak nampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena
tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.
Data di
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan dari analisa 19
surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007 saja
mencapai 455 kasus kwa seekerasan terhadap anak yang diberitakan. Dari
Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 terdapat 600 kasus
kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus Kejaksaan Agung.
Sebanyak 41 % di antaranya terkait dengan kasus pencabulan dan
pelecehan seksual. Adapun 41 % lainnya berkenaan dengan perkosaan.
Sisanya, 7 % tindak perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 %
tindak penganiayaan, 5 % tidak diketahui. (Laporan Pemerintah Indonesia
kepada Komite Anak Dunia, 2008.
Sementara itu Komnas Perlindungan
Anak , melaporkan bahwa selama tahun 2007 praktek KTA mengalami
peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya 40.398.625 kasus
menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008.(Media Indonesia, 12
Juli 2008).
Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan
aneka variannya diterima oleh anak-anak Indonesia seperti; pembunuhan,
perkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafiking, , aborsi, pedofilia,
dan berbagai eksploitasi anak dalam bidang pekerjaan penelantaran,
penculikan, melarikan anak, penyanderaan dan sebaginya.
Ada data
menarik di KPAI, bahwa dari seluruh tindakan KTA terhadap 11, 3 persen
dilakukan oleh guru, atau nomer dua setelah kekerasan yang dilakukan
oleh orang-orang di sekitar anak yang mencapai 18 %. Mula-mula penulis
tidak percaya terhadap fenomena tersebut. Namun setelah dilakukan
analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat
kabar penulis semakin terhenyak kaget, karena sepanjang paruh pertama
tahun 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam
yakni mencapai 39,6 persen dari dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi
dibandingkan dengan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.
Jenis
kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan
menekan dan mengancam terhadap anak yang dilakukan guru selama
menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir sekolah
Berstandar Nasional (UASBN). Apabila kekerasan psikis tersebut
dimasukkan, persentase akan semakin tinggi, berdasarkan pengaduan anak
dan orang tua wali murid kepada KPAI.
Ini kondisi yang
memprihatinkan karena sebagaimana teori psikoanalisa mengatakan, anak
akan melakukan apa yang pernah diterima dari orang tua. Aetinya, bila
anak-anak sekarang diperlakukan keras, maka ia kelak akan memperlakukan
orang lain dengan kekerasan pula. Dengan begitu kekerasan laksana
spiral yang akan selalu melahirkan kekerasan baru dengan eskalasi yang
terus meningkat
PENUTUP
Undang-undang Nomer 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan, bahwa setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpatisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).
Pada
bagian lain dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9).
Setiap
anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi, dan rekreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.(Pasal
11).
Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut,
serta memperhatikan kondisi anak pada masa golden age, maka sungguh
kita tidak boleh salah dalam menerapkan pola asuhan terhadap anak pada
usia lima tahun pertama. Kesalahan pada masa ini, bisa jadi akan
menjadi kesalahan selamanya yang akan sulit diperbaiki.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar