Rabu, 16 Desember 2009

ide

SANGGAR ANAK ZAMAN INDONESIA sebuah wadah dimana potensi hak anak wajib kita perjuangan
PENDAHULUAN


SERING orang tua bertanya, mengapa watak, kemampuan, dan perilaku anaknya yang sekarang sekolah di SMA ”tiba-tiba” tampak berbeda dengan teman-teman lainnya, padahal ia mengalami masa kecil yang sama dengan teman-teman pada umumnya? ”Bukankah anakku juga minum susu, makan nasi, daging, juga buah dan sayur, plus ice cream, bahkan multi vitamin?”
Pertanyaan itu terus berlanjut. Mengapa anak tetanggaku jadi anak penurut sedang anakku sangat pemberang, anak tetanggaku selalu tersenyum sedang anakku selalu cemberut, anak tetanggaku bisa sangat bandel sedangkan anakku mudah menangis, anak tetanggaku bisa menyanyi dengan suara merdu sedang anakku bersuara sumbang, anak tetanggaku bisa pintar melukis sedang anakku suka mebuat grafiti di tembok rumah? Anak tetanggaku selalu menjadi juara kelas sementara anakku suka tawuran? Apakah ini karena takdir? Kalau begitu mengapa takdir baik selalu jatuh pada orang lain, sementara takdir jelek selalu pada diri saya?

Pertanyaan gugatan di atas mencerminkan, bahwa kita lebih suka melihat kepada hasil yang dicapai daripada proses. Kita sering tidak peduli pada proses karena maunya cepat jadi atau ingin instan, maka yang ditempuh adalah jalan pintas. Hasilnya adalah anak seolah-olah bisa; padahal yang terjadi adalah sesuatu yang semu, palsu dan lebih pada ambisi orang tua, bukan kebutuhan anak.
Seperti apa anak setelah dewasa, atau ketika memasuki masa belajar di SMA, SMP bahkan masih di SD, sesungguhnya amat bergantung pada bagaimana orang tua mengasuh anak pada usia lima tahun pertama. Masa ini adalah masa kegemilangan ruang intelektual, emosi, spiritual dan motorik anak, sehingga para ahli anak menyebutnya sebagai masa golden age. Para peneliti menyimpulkan pembentukan intelegensia seorang indivisu 50 % berlangsung pada usia 1-4 tahun, hingga usia 8 tahun menjadi 80 % dan mencapai 100 % pada usia 18 tahun.

PANDANGAN TENTANG ANAK


Ada beberapa pandangan dasar tentang anak. Pertama, pandangan lama yang menganggap bahwa anak lahir dengan membawa takdir yang tidak bisa diubah berupa bakat dan kemampuan yang tak bisa diubah. Jangan paksa anak untuk melukis atau menyanyi atau menari, karena melukis-menyanyi-dan menari adalah bakat yang dibawa sejak lahir, begitulah kira-kira aliran ini melihat anak.
Konsekuensinya, untuk apa upaya manusia mengembangkan anak, sebab bukankah anak sudah ditakdirkaan dalam bakat-bakat tertentu? Pendidikan tidak akan mampu mengubah bakat, pengasuhan tidak akan mengubah takdir. Pada saatnya, secara alamiah bakat anak akan muncul, tanpa jasa dari orang tua atau guru.


Kedua, aliran Tabularasa, dikemukakan oleh John Locke, yang melihat anak lahir dalam kondisi putih bersih laksana meja lilin yang akan ditulisi apa saja bisa bergantung kemauan orang tua. Pandangan ini menolak keberadaan bakat bawaan pada anak. Tugas orang tua adalah menulisi meja tersebut, mau seperti apa yang paling menentukan adalah orang tua dan guru. Oleh sebab itu orang tua berperan mengarahkan ke mana anak akan dibawa dengan konsep yang sudah disiapkan.


Pandangan lain yang lebih maju dikemukakan oleh Jean Piaget. Menurutnya anak lahir dengan segala keunikan potensi, yang antara satu dengan yang lainnya tidaklah sama, bahkan anak kembar sekali pun. Tugas orang dewasa adalah menyiapkan lingkungan yang memungkinkan potensi-potensi yang dimiliki anak bisa berkembang optimal, baik potensi nalar ( intelegensi), rasa (emosi), spiritual, maupun ketrampilan (motorik).
Potensi intelegensia anak akan berkembang pesat bila orang tua menyediakan perpustakaan atau bahan-bahan bacaan lainnya. Potensi emosi akan menjadi optimal manakala orang tua menyediakan suasana keluarga yang harmonis, hubungan kasih sayang antaranggota keluarga. Demikian pula potensi motorik akan bangkit bila ada ruang daan fasilitas yang mendukung, tanpa itu tentulah akan sulit berkembang, apalagi bila yang tersedia adalah hal yang sebaliknya.


Abraham Maslow melengkapi pemikiran tersebut dengan teori motivasi. Menurutnya, potensi-potensi unik sorang anak akan muncul apabila diberi motivasi dengan cara penyampaian wawasan, contoh orang tua, pergaulan dengan teman lain, maupun pengalaman langsung.

POLA ASUHAN SEBAGAI KUNCI

Mencermati pendapat di atas dengan memasukan pengalaman yang selama ini kita peroleh memberikan pengertian kepada kita bahwa kata kunci sukses mengantarkan anak menuju perkembangan optimal adalah pada pola asuhan. Seperti apa kita menerapkan pola asuhan, itulah bentuk karakter perkembangan anak yang akan terjadi.


Pola asuhan yang melekat adalah siapa yang paling dekat dengan seorang anak. Apabila yang paling dekat adalah ibu, maka watak-watak ibu akan berpengaruh. Bila yang dekat adalah ayah maka watak ayahlah yang akan membekas. Demikian pula bla ternyata guru di Taman kanak-kanak yang paling dekat, maka perilaku anak akan mengikuti gurunya. Begitu pula bila yang paling dekat adalah baby siter atau pembantu, maka karakter pembantulah yang akan melekat pada jiwa anak.


Sering orang tua tiba-tiba kaget mengapa si kecil tidak mau lagi menuruti perintahnya, bahkan suka membantah. Sebaliknya ketika diperintah oleh pembantu justeru sangat menurut, lalu menyalahkan pembantu jangan-jangan selama ini diajari agar anaknya tidak mematuhi perintahnya. Ia tidak menyadari bahwa selama ini perhatian yang diberikan kepada si kecil memang sangatlah kurang karena kesibukannya.

Itulah maka kedekatan dengan si kecil harus dibangun sejak dini.

INISISASI DINI ASI


Pola asuhan dimulai sejak anak lahir, malahan ketika anak masih dalam kandungan. Begitu anak lahir tanpa perantara siapapun anak diinisiasi untuk menikmati air susu ibu (ASI). Di dalam ASI lah pertalian ibu dan anak sangat sangat kuat tak ada yang menandingi. Tinjauan medis paling mutakhir menunjukkan, bahwa di dalam ASI bukan hanya termuat gizi yang sangat tinggi, tetapi juga zat-zat inti perekat antara seorang anak dan ibu. Memisahkan anak dengan ASI sama dengan memisahkan anak dengan kehidupan, karena di sanalah ia berasal dan menemukan kehangatan, harapan, lindungan, dan kemutlakan cinta.


Dengan alasan apapun, anak harus diberi hak utama yaitu menikmati air susu ibu. ASI tidak akan tergantikan oleh susu formula macam apapun. Susu formula hanya menyediakan gizi semu, sedangkan ASI mengandung gizi sejati, cinta, harapan, bahkan aneka zat kekebalan tubuh yang melindungi anak dari bebagai penyakit. Menyediakan berbagai fasilitas kepada anak tanpa menyediakan ASI sesungguhnya seperti memberikan tubuh tanpa memberikan jiwanya.


Inisiasi diberikan dalam waktu 30-60 menit setelah kelahiran, tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Bila ini dilakukan selama minimal 6 bulan (ASI eklusif) maka akan terjadi latihan reflek berfikir sekaligus pencegahan terhadap serangan penyakit menular atau infectious disease (Utami Rusli, 2007).


Boleh dikatakan, perlakukan apapun menjadi sia-sia bagi masa depan anak apabila orang tua tidak memberikan ASI eklusif. Potensi anak akan berkembang secara optimal, bila dalam hidupnya menikmati ASI eklusif.

JANGAN MELARANG


Kesalahan paling fatal orang tua adalah kegemarannya melarang banyak hal kepada anak-anak kita. Rupanya kegemaran ini juga menjadi ciri khaas orang deawasa di banyak negara, sehingga UNICEF pada tahun 2000 mencanangkan gerakan ”Say Yes For Children” ( Katakan Ya, untuk anak).


Bayangkan; anak menangis dilarang, anak bangun malam dilarang, anak menggigit kain dilarang, anak berteriak dilarang, anak ikut ke mana orang tua pergi dilarang, anak bermain dengan teman-teman di luar di larang, semua pendidikan bentuknya larangan. Akibatnya anak diam-diam menyimpan tekanan jiwa. Sublimasinya, ia tetap akan melakukan apa yang diinginkan bila tidak ada orang tua, atau menjadi apatis dengan tidak melakukan apapun karena pasti akan dilarang oleh orang tua.


Untuk diingat, menangis adalah satu-satunya ekpresi anak di awal kehidupannya, maka tidak seharusnya ia dilarang untuk menangis. Bermain juga adalah media eksplorasi anak dalam mengenal lingkungannya dan mengekspresikan impuls-impuls dalam dirinya. Bermain yang bagi orang tua sesuatu yang tidak serius dan hanya membuang waktu, bagi seorang anak adalah dunia yang sangat penting karena di sanalah ia mencari eksistensi diri. Bagi anak, waktu 24 jam masih kurang untuk bermain.


Yang diperlukan orang tua adalah memastikan bahwa tempat di mana anak bermain adalah tempat yang bersih dan aman. Selebihnya biarkan anak mengekplorasi diri karena disinilah anak berlatih seluruh potensi unik yang dimiliki.

PERAN ORANG TUA DAN GURU


Dengan perspektif seperti itu, di manakah peran orang tua dan guru Taman Bermain/Taman kanak-kanak/PAUD? Pertama, orang tua sebagai fasilitator yaitu menyediakan lingkungan dan sarana belajar anak untuk mengembangkan potensinya. Ank punya minat musik akan berkembang apabila mendapat dukungan fasilitas yang berhubungan dengan musik seperti alat musik, buku-buku tantang musik, kesempatan menonton musik, bergaul dengan para pemusik dan sebagainya. Demikian juga untuk minat-minat yang lain. Asumsinya, semakin dipenuhinya fasilitas yang dibutuhkan anak, akan semakin berkembang potensi-potensi yang dimiliki seorang anak.


Kedua, orang tua sebagai motivator. Peran ini dilakukan dengan memberikan dorongan dan dukungan bagi berbagai hal yang menjadi minat seorang anak. Apabila anak melakukan kekeliruan tidak disalahkan atau disudutkan tetapi diberi berikan bimbingan dengan kalimat-kalimat yang membangkitkan semangat. Ketika anak memasukkan bola ke gawang, tidak dvonis anak itu bodoh dan tak mampu menjadi pemain bola. Sebaliknya orang tua akan berkata;”Wah hebat, tendanganmu sudah keras, tetapi akan lebih baik kalau juga tepat sasaran. Cobalah tenang sedikit sehingga bola yang kamu tentang akan masuk e gawang’’.


Ketiga, orang tua sebagai inisiator, yaitu contoh atau teladan bagi anak-anak. Contoh atau teladan akan lebih mudah tertanam di dalam benak anak, dan pada gilirannya akan menjadi habitus yang akan berlanjut hinga dewasa kelak. Janganlah kita merokok bila kita ingin anak merokok, janganlah suka marah-marah bila tidak ingin anak kita menjadi pemberang, janganlah suka bicara kotor bila kita inginkan anak-anak berlaku sopan santun.


Keempat, mendengarkan suara anak. Ini sangat penting karena apa yang diinginkan anak dengan yang kita pikirkan tentang anak sangat berbeda. Orang tua sering menganggap bahwa dengan memberikan pakaian bagus dan makanan enak ia sudah memenuhi keinginan anak. Tetapi jangan kaget karena ketika kita minta agar anak kita menuliskan secara bebas tentang apa yang diinginkan, keinginan anak berbeda dengan keinginan orang tua sperti; ”Saya ingin Ibu sering membelai rambut saya”, ”Saya ingin ayah tidak suka berteriak-teriak memarahi pembantu”, ”Saya ingin ayah dan ibu pernah nonton teve bareng”, dan sebagainya, keinginan-keinginan yang kelihatannya sangat ringan, tetapi sangat penting bagi pemenuhan hak-hak anak.

PERAN TAMAN BERMAIN


Bermain adalah hak anak yang harus dipenuhi. Bermain bagi seorang anak adalah saat di mana ia bisa mengekspresikan semua potensi yang ada dalam dirinya. Dengan demikian, anak yang semasa kecil ha-hak bermainnya tidak dipenuhi karena berbagai lasan, berarti ia telah kehilangan masa anak-anaknya.


Di dalam bermain seorang anak akan beajar berkomunikasi dengan orang lain (atau bayangan orang lain), menjelajah lingkungan hidup, belajar bersosialisasi, belajar kedisiplinan, kejujuran, kerjasama, saling membantu bagi yang membutuhkan, serta belajar kasih sayang dengan orang lain. Tiada kegiatan paling penting bagi seorang anak kecuali bermain. Melarang bermain berarti melarang menjadi anak.


Peran Taman bermain (TK/Kindegarden/PAUD) dan sebagainya dengan demikian menjadi amat penting posisinya, yaitu menjembatasi anak dalam masa transisi dari masa anak-anak ke dalam masa bersekolah. Tugas guru adalah menyediakan ruang ekspresi bagi anak. Oleh karena itu Taman Kanakkanak akan lebih memiliki arti bagi perkembangan anak apabila banyak memiliki fasilitas bermain. Mengajarkan kejujuran dan kedisiplinan tidak mungkin hanya dengan ceramah, dipastikan tidak akan menghasilkan apa-apa. Bermain peran, adalah metode yang jauh lebih cocok untuk target tersebut.


Demikian juga mengajarkan membaca-menulis dan berhitung kepada anak-anak TK tidak akan menghasilkan apapun kecuali kebanggaan semu dari orang tua. TK bukan bukan sekolah dengan administrasi ketat. TK adalah taman bermain yang harus dikondisikan seperti di rumah dengan memberikan stimulus agar anak mulai belajar mandi sendiri, makan sendiri, mencuci tangan, berimajinasi dan sebagainya.


Sayangnya banyak orang tua keblinger, dikiranya apabila sejak TK sudah bisa membaca dan menulis maka akan menjamin di masa sekolah ia akan lebih pandai dbandingkan teman-temannya. Guru-guru TK pun kemudian dengan bangga memamerkan kepada teman-teman guru dari TK lainnya, bahwa di TK nya anak-anak sudah diajari membaca menulis dan berhitung bahkan bahasa Inggris. Ia tidak tahu, itu semua salah dan tak akan menolong anak-anak di masa depan dari kehidupan pelik yangdihadapi orang deawasa. Lebih ngawur lagi, ada SD yang dalam penerimaan siswa baru mensyaratakan pendidikan Taman kanak-kanak.

PRAKTEK KEKERASAN DI SEKOLAH


Satu prinsip yang harus dipedomani adalah tidak boleh ada praktek kekerasan pada anak-anak, baik di rumah, taman bermain maupun sekolah. Anak-anak yang mengalami kekerasan akan trauma, dan secara langsung akan berpengaruh pada berkembangnya daya-daya intelektual anak.


Sayangnya dalam praktek keseharian kita masih suka melakukan tindak kekerasan apabila merasa galal menyampaikan pesan kepada seorang anak atau merasa disepelekan anak, atau karena alasan lainnya. Disebabkan ketidakberdayaan fisik maupun psikis ketika menghadapi kekerasan yang dilakukan oleh orang tua, akhirnya banyak jatuh korban tindak kekerasan pada anak.


Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan. Di masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik semata, tetapi sekarang sudah lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir tersebut memang lebih sulit mengukurnya karena tidak nampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.


Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan dari analisa 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007 saja mencapai 455 kasus kwa seekerasan terhadap anak yang diberitakan. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 terdapat 600 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus Kejaksaan Agung. Sebanyak 41 % di antaranya terkait dengan kasus pencabulan dan pelecehan seksual. Adapun 41 % lainnya berkenaan dengan perkosaan. Sisanya, 7 % tindak perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 % tindak penganiayaan, 5 % tidak diketahui. (Laporan Pemerintah Indonesia kepada Komite Anak Dunia, 2008.
Sementara itu Komnas Perlindungan Anak , melaporkan bahwa selama tahun 2007 praktek KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya 40.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008.(Media Indonesia, 12 Juli 2008).


Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan aneka variannya diterima oleh anak-anak Indonesia seperti; pembunuhan, perkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafiking, , aborsi, pedofilia, dan berbagai eksploitasi anak dalam bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, melarikan anak, penyanderaan dan sebaginya.
Ada data menarik di KPAI, bahwa dari seluruh tindakan KTA terhadap 11, 3 persen dilakukan oleh guru, atau nomer dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar anak yang mencapai 18 %. Mula-mula penulis tidak percaya terhadap fenomena tersebut. Namun setelah dilakukan analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar penulis semakin terhenyak kaget, karena sepanjang paruh pertama tahun 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam yakni mencapai 39,6 persen dari dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan dengan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.


Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam terhadap anak yang dilakukan guru selama menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN) atau Ujian Akhir sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Apabila kekerasan psikis tersebut dimasukkan, persentase akan semakin tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orang tua wali murid kepada KPAI.
Ini kondisi yang memprihatinkan karena sebagaimana teori psikoanalisa mengatakan, anak akan melakukan apa yang pernah diterima dari orang tua. Aetinya, bila anak-anak sekarang diperlakukan keras, maka ia kelak akan memperlakukan orang lain dengan kekerasan pula. Dengan begitu kekerasan laksana spiral yang akan selalu melahirkan kekerasan baru dengan eskalasi yang terus meningkat

PENUTUP


Undang-undang Nomer 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpatisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).


Pada bagian lain dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9).


Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berkreasi, dan rekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.(Pasal 11).


Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, serta memperhatikan kondisi anak pada masa golden age, maka sungguh kita tidak boleh salah dalam menerapkan pola asuhan terhadap anak pada usia lima tahun pertama. Kesalahan pada masa ini, bisa jadi akan menjadi kesalahan selamanya yang akan sulit diperbaiki.***

inspirasi

Spiral kekerasan di masyarakat terus bergulir meski kata damai, aman, sakinah, dan lainnya juga terus membanjir dari pendidik, tokoh masyarakat, hingga pejabat pemerintah.

Dalam praktik kekerasan itu, korban paling banyak adalah anak-anak. Secara fisik dan psikis, mereka tak berdaya saat menghadapi kekerasan yang dilakukan orang dewasa.

Kekerasan diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan seseorang menderita atau dalam keadaan tertekan tanpa bisa melakukan perlawanan (Darwin, 2000). Pada masa lalu, kekerasan hanya diartikan tindakan fisik. Namun, kini lazim digunakan ada kekerasan fisik dan ada kekerasan psikis. Yang terakhir lebih sulit mengukurnya karena tidak tampak, tetapi lebih fatal akibatnya karena tidak ada kepastian bagaimana cara penyembuhannya.


Kekerasan meningkat

Data di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, dari analisis 19 surat kabar nasional yang terbit di Jakarta selama tahun 2007, terdapat 455 kasus kekerasan terhadap anak. Dari Kejaksaan Agung diperoleh data, selama tahun 2006 ada 600 kasus kekerasan terhadap anak (KTA) yang telah diputus kejaksaan. Sebanyak 41 persen di antaranya terkait pencabulan dan pelecehan seksual, sedangkan 41 persen lainnya terkait pemerkosaan. Sisanya, 7 persen, terkait tindak perdagangan anak, 3 persen kasus pembunuhan, 7 persen tindak penganiayaan, sisanya tidak diketahui.

Sementara itu, Komnas Perlindungan Anak mencatat, selama tahun 2007 praktik KTA mengalami peningkatan sampai 300 persen, dari tahun sebelumnya. Dari 4.398.625 kasus menjadi sebanyak 13.447.921 kasus pada tahun 2008 (Media Indonesia, 12/7/2008).

Berbagai jenis dan bentuk kekerasan dengan beragam variannya diterima anak-anak Indonesia, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pencabulan, penganiayaan, trafficking, aborsi, paedofilia, dan berbagai eksploitasi anak di bidang pekerjaan penelantaran, penculikan, pelarian anak, penyanderaan, dan sebagainya.

Data di KPAI menunjukkan, dari seluruh tindakan KTA, 11,3 persen dilakukan oleh guru atau nomor dua setelah kekerasan yang dilakukan oleh orang di sekitar anak, dan jumlahnya mencapai 18 persen. Fakta ini didukung analisis data pemberitaan kekerasan terhadap anak oleh semua surat kabar. Sepanjang paruh pertama 2008, kekerasan guru terhadap anak mengalami peningkatan tajam, 39,6 persen, dari 95 kasus KTA, atau paling tinggi dibandingkan pelaku-pelaku kekerasan pada anak lainnya.

Jenis kekerasan yang dilakukan guru terhadap anak belum termasuk perlakuan menekan dan mengancam anak yang dilakukan guru menjelang pelaksanaan ujian nasional atau ujian akhir sekolah berstandar nasional. Jika kekerasan psikis itu dimasukkan, persentase akan kian tinggi, berdasarkan pengaduan anak dan orangtua/wali murid kepada KPAI.

Kekerasan di sekolah

Pertanyaannya, mengapa guru menjadi pelaku kekerasan terhadap anak? Bukankah guru semestinya menjadi pihak yang paling melindungi anak setelah orangtua? Boleh jadi karena guru mengalami tekanan kehidupan yang kian berat, baik yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial, kehidupan profesi, maupun tekanan psikis lain yang mendorong guru melakukan tindak kekerasan terhadap murid.

Selain itu, anak-anak juga mengalami kekerasan yang dilakukan teman-teman sebaya melalui kegiatan perploncoan pada awal tahun ajaran. Berita perilaku kekerasan oleh teman sebaya yang dilakukan Geng Nero di Pati (Kompas, 19/6/2008) juga menjadi alasan mengapa orangtua mengkhawatirkan keamanan anak-anaknya di sekolah.

Tanggung jawab orangtua

Apa pun alasannya, sekolah bukan lagi tempat yang aman bagi anak-anak. Maka, selayaknya siapa pun menaruh perhatian lebih besar terhadap keamanan anak di sekolah.

Pertama, kita harus menegakkan prinsip perlindungan anak sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak Anak PBB dan UU No 23/2002 tentang prinsip perlindungan anak, yaitu the best interest for children (kepentingan terbaik bagi anak). Implementasinya, semua perencanaan manajemen sekolah dan para pihak harus mempertimbangkan aspek-aspek perlindungan anak, dari bagaimana anak beradaptasi, anak berkomunikasi dengan sekolah, perlakuan senior terhadap yuniornya, perlakuan guru terhadap siswa, aneka peraturan yang menekan siswa, hingga kepastian ke mana dan dengan siapa seorang anak pergi pulang sekolah.

Kedua, orangtua tak lagi boleh menyerahkan anak-anaknya begitu saja kepada sekolah karena merasa sudah membayar berbagai pungutan dan menganggap segalanya beres. Sebagai pelindung utama, orangtua tetap merupakan pihak paling bertanggung jawab atas keselamatan anak hingga dewasa. Karena itu, pengawasan seperti apa anak- anak diperlakukan oleh sekolah harus tetap diketahui orangtuanya.

Ketiga, birokrasi pendidikan harus lebih intens memantau budaya sekolah dan karakter para guru sehingga yakin anak-anak dijamin aman secara pisik dan psikis selama di lingkungan sekolah. Perekrutan guru di masa kini bukan hanya berdasarkan kualifikasi, tetapi lebih menyangkut aspek stabilitas mental, kapasitas intelektual, dan profesionalitas.

Sekolah jangan sampai menjadi penampungan orang-orang frustrasi, atau bermasalah, atau sekadar pekerjaan antara sebelum mendapat pekerjaan lain karena pada saatnya kondisi mental yang ada akan dilampiaskan dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap siswa.

Lebih dari itu, fakta-fakta kekerasan terhadap anak di sekolah bukan saja membuktikan bahwa sekolah bukan panacea bagi penyembuhan problem sosial, tetapi justru sebaliknya menjadi sumber masalah baru yang lebih berat dan kompleks.

Kekerasan terhadap anak di sekolah harus diwaspadai karena Sigmund Freud mengatakan, anak akan memperlakukan orang lain di masa dewasa seperti ketika ia diperlakukan orang lain pada masa anak-anak (Corey, 2001). Jadi, jika kini anak-anak diperlakukan dengan penuh kekerasan, kelak mereka akan menjadi pelaku kekerasan yang mungkin jauh lebih hebat dibandingkan perlakuan kekerasan yang diterima saat anak-anak.

Sebelum spiral kekerasan itu melenting beramplitudo mewujud dalam bentuk yang dahsyat dan mengerikan, kita harus lindungi anak-anak Indonesia dari kekerasan di sekolah. Jadikan sekolah sebagai tempat pendidikan ramah anak. Selamat Hari Anak Nasional, 23 Juli 2008.

Hadi Supeno Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

pandangan

MENYELAMATKAN ANAK
(Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli 2007)


Oleh : Hadi Supeno
Pemerhati dan praktisi pendidikan anak, tinggal di Magelang

Anak adalah Bapak masa depan. Siapapun yang berbicara tentang masa yang akan datang, harus berbicara tentang anak-anak. Menyiapkan Indonesia ke depan, tidak cukup hanya berbicara soal income per capita, pertumbuhan ekonomi, nilai investasi, atau indikator makro lainnya. Sesuatu yang paling dasar adalah, sejauh mana kondisi anak disiapkan oleh keluarga, masyarakat, dan negara.

Membuat perencanaan masa depan tanpa memperhitungkan variabel anak adalah sebuah pikiran amoral dan ahistoris, karena tidak meletakkan manusia sebagai faktor determinan dalam perubahan masyarakat. Bila itu terjadi, maka dalam prosesnya akan dengan mudah melupakan faktor-faktor kepentingan anak, dan lebih untuk menuruti egoisme manusia dewasa yang berfikir hanya untuk kepentingan sesaat.

Anak-anak karena ketidakmampuan, ketergantungan dan ketidakmatangan, baik fisik, mental maupun intelektualnya perlu mendapat perlindungan, perawatan dan bimbingan dari orang tua (dewasa). Perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak adalah kewajiban agama dan kemanusiaan yang harus dilaksanakan mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Wajah muram

Sayangnya anak-anak Indonesia belum semuanya bisa tertawa gembiara dan hidup dalam dengan penuh pengharapan. Sebagian dari mereka hidup dalam suasana muram, penuh tekanan, bahkan ancaman yang menurunkan derajat peradaban kemanusiaan.

Serbuan hedonisme, materialisme, dan kebudayaan yang massif atas nilai-nilai moral dan agama adalah sesuatu yang sesungguhnya sangat mengkhawatirkan bagi tumbuhnya generasi muda yang diharapkan akan membawa negeri ini mencapai peradaban tertinggi. Demikian juga masalah kemiskinan yang belum beranjak pergi, menjadikan persoalan anak belum surut. Dalam situasi kemiskinan, perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling menderita. Tingkat kesejahteraan mereka menurun, yang berarti hak-hak mereka sebagai anak kurang terlindungi.

Gambaran suram

Data berikut memberikan gambaran bagaimana masih buramnya dunia anak di Indonesia. Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), kondisi kesehatan dan gizi adalah; (a). angka kematian bayi, tahun 2002/2003 sebesar 35/1000 atau terdapat 35 bayi yang meninggal di antara 1000 bayi yang dilahirkan, atau berarti setiap hari ada 430 kematian bayi di Indonesia; (b). kematian balita, sebesar 46/1000 atau setiap hari ada 566 kematian balita; (c). status gizi, pada tahun 2005 jumlah anak kurang gizi sekitar 5 juta dan anak gizi buruk sekitar 1,5 juta, dan 150.000 anak menderita gizi buruk tingkat berat (marasmus-kwasiorkor). Jumlah anak yang meninggal akibat gizi buruk tersebut mencapai 286 anak; (d). air susu ibu (ASI) eksklusif, yakni ibu yang menyusui bayi di atas 4 bulan mengalami penurunan dari 65,1 % pada Susenas 1998 menjadi 49,2% pada Susenas 2001.

Dalam sektor pendidikan; (a).angka partisipasi sekolah, tahun 2004 untuk anak usia 13-15 tahun sebesar 83,4 % sedangkan untuk anak usia 16-18 tahun sebesar 53,4 %; (b). angka mengulang kelas, data tahun 2004/2005 menunjukkan persentase sebesar 5,4 % untuk anak usia SD dan 0,44 % untuk SMP/Mts; (c). angka putus sekolah, tahun 2005/2006 menunjukkan sebesar 2,96 % untuk SD/MI dan 1,6 % untuk SMP/MTs; (d). angka melanjutkan sekolah, tahun 2005/2006 mencatat hanya 72,5 % anak yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP/MTs.

Aspek perlindungan anak lebih memprihatinkan; (a). anak tanpa akte kelahiran, berdasarkan hasil Susenas 2001 angkanya mencapai 60 % atau anak yang sudah memiliki akte kelahiran baru mencapai 40%; (b). anak korban kekerasan dan perlakuan salah, menurut laporan kepolisian pada tahun 2002 tercatat 239 kasus dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 326 kasus; (c). anak jalanan, diperkirakan secara nasional mencapai 60.000-75.000 dan menurut Departemen Sosial 60 % di antaranya putus sekolah; (d) anak yang berkonflik dengan hukum, setiap tahun terdapat lebih dari 4.000 perkara pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak di bawah usia 16 tahun. Data lainnya menyebutkan hingga tahun 2002 terdapat 3.722 anak yang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan.

Lebih mengerikan, data di Badan Narkotika Nasional menyebutkan anak korban penyalahgunaan narkoba, 70 % dari 4 juta pengguna narkoba adalah anak berusia 4-20 tahun atau sekitar 4 % dari seluruh pelajar yang ada. Sedangkan kasus AIDS/HIV, hingga Desember 2005 terdapat 4.243 kasus HIV, dan 5.320 kasus AIDS. Dari jumlah tersebut 438 kasus terjadi pada anak usia 0-19 tahun. Sementara korban kerja paksa, trafficking, pelacuran anak, dan anak-anak di pengungsian belum tersedia data yang memadai. Tetapi diyakini, jumlahnya mencapai ribuan anak.

Rencana aksi

Data di atas sangat jelas menugaskan kepada kita untuk menyelamatkan anak dari berbagai kondisi yang tidak menguntungkan. Dari segi perundang-undangan sesungguhnya telah cukup memadai. Kecuali telah meratifikasi Konvensi Hak-hak Anak Internasional, Indonesia juga telah memiliki Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tetapi payung hukum itu rupanya belum cukup efektif membebaskan anak-anak Indonesia dari berbagai masalah fundamental.

Oleh karenanya, sejumlah langkah konkret masih perlu segera dilakukan. Pertama, pencerahan terhadap masyarakat akan pentingnya perlindungan anak melalui sosialisasi berkelanjutan tentang ketentuan perundang-undangan yang berlaku, utamanya pengetahuan tentang hak-hak anak yang harus diperoleh.

Kedua, mendorong aparat hukum untuk melakukan langkah aktif intensif bahkan ofensif dalam pembasmian segala bentuk eksploitasi dan kejahatan terhadap anak-anak. Hukuman yang berat harus dijatuhkan kepada mereka yang mengeksploitasi dan merusak masa depan anak utamanya menyakut pelibatan anak dalam perdagangan narkoba, trafficking, pelacuran anak, serta tindakan sejenisnya.

Ketiga, menciptakan model pendidikan alternatif bagi anak-anak bermasalah, serta penyadaran hak-hak anak melalui kurikulum integrated dalam proses belajar mengajar pada lembaga-lembaga pendidikan.

Keempat, menjadikan perlindungan anak sebagai sebuah gerakan, yang melibatkan seluruh unsur dan potensi masyarakat baik lembaga pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, dunia usaha, media massa, dan jaringan internasional.

Langkah-langkah tersebut dirangkum dalam sebuah rencana aksi, yang dipimpin langsung oleh pemerintah melalui instansi terkait maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang berdasarkan UU No23/2002 ditugaskan untuk mengawal penyelenggaraan perlindungan anak Indonesia. Mengingat berat dan mendesaknya persoalan, kiranya rencana aksi itu sebuah keniscayaan yang tak bisa ditunda lagi pelaksanaannya dan tanpa diskusi.

Pada saat kita memperingati Hari Anak Nasional 23 Juli 2007 ini, kiranya menjadi momentum yang paling tepat guna membulatkan komitmen kita dalam menyelamatkan dan melindungi anak-anak Indonesia.

komentar

BELUM ADANYA PERANGKAT HUKUM YANG TEPAT BAGI KEJAHATAN PORNOGRAFI ANAK
(CHILD PORNOGRAPHY)

Kejahatan Pornografi anak yang terjadi akibat dampak negatif dari kemajuan Teknologi Informatika (T.I.) maupun akibat industri hiburan dan film melalui audio visual maupun media cetak yang menyerbu dunia anak-anak Indonesia ternyata telah membawa anak terpapar pada masa depan yang suram, yang menuju kehancuran generasi penerus bangsa.

Sedangkan perangkat hukum Perlindungan anak yang ada sudah tidak relevan untuk dipakai sebagai payung hukum yang tepat dibanding akibat yang terjadi baik terhadap kerusakan mental dan psikis yang dialami korban dan keluarganya, maupun pengrusakan dan penghancuran masa depan generasi bangsa.

Ketentuan hukum yang ada a.l.:

1. K.U.H.P (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

Pasal 281: Barang siapa merusak kesopanan di ancam pidana 2 tahun 8 bulan penjara dan/ atau denda Rp 4.500,-

Pasal 282 : Barang siapa menyiarkan, mempertontonkan. membuat, mengirim langsung lukisan, gambar atau barang, diancam pidana 1 tahun 4 bulan dan/atau denda Rp 45.000,-

Pasal 283 : Barang siapa menawarkan, mempertunjukkan kepada orang yang diketahui hukum belum berusia 17 tahun, gambar yang menyinggung kesopanan, hukuman 9 bulan, denda Rp 9.000,-

Yang dimaksud dengan kesopanan dalam K.U.H.P adalah: bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba kemaluan, meminta, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria.

Ketentuan KUHP terhadap kejahatan Pornografi anak:

a. Rumusan tindak pidana dalam pasal 281, 282 dan 283 tersebut tidak persis sama dengan sebab dan akibat dari kejahatan Pornografi anak, sehingga memungkinkan interpretasi yang salah terhadap peradilan

b. Sanksi pidana dan denda yang sangat ringan tidak mengandung unsur keadilan

c. Rumusan bahasa hukum yang menjadi dasar delik pidana kejahatan Pornografi harus terang dan jelas sehingga terjaminnya kepastian hukum yang menjadi dasar penegakan hukum

2. Undang-Undang Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 66 ayat 3 : Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melaksanakan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap anak

Pasal 88 : Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi dan/atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, di pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)

Ketentuan pasal 66 dan 88 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak terhadap kejahatan Pornografi anak:

a. Pengertian eksploitasi ekonomi dan/atau seksual adalah tindak pidana yang dilakukan secara tertutup berbeda dengan kejahatan Pornografi anak dilakukan ada yang tertutup, namun lebih banyak dilakukan secara terbuka melalui publikasi media cetak, elektronik, audio visual dan perangkat teknologi informatika serta industri hiburan.

b. Tidak ada pasal yang mengatur pornografi pada anak (child pornography) ataupun yang membatasi akses anak pada kejahatan pornografi dalam Undang-Undang perlindungan anak.

3. K.H.A (Konvensi Hak-hak Anak) yang disahkan PBB 20 November tahun 1989 dan di Ratifikasi Indonesia (SK Presiden No.36 Tahun 1990)

Pasal 34 : Negara-negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalah gunaan seksual untuk tujuan tersebut, maka Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat, untuk mencegah:

a. Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang anak untuk terlibat dalam setiap aktifitas seksual yang melanggar hukum

b. Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual lainnya yang melanggar hukum

c. Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografis.

KHA terdiri dari 54 pasal dan 8 Cluster.

Pasal 34 secara implisit telah menyiratkan kejahatan Pornografi anak, sekalipun penekanannya lebih kepada tindakan pornoaksi, tetapi masih bisa dijabarkan lebih luas sesuai kebutuhan dari negara-negara Pihak.

Ada 7 pasal yang tidak diratifikasi oleh Indonesia, termasuk pasal 34 KHA, dan sayang sekali pasal 34 tidak diadopsi ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Sehingga tidak adanya kekuatan hokum yang tepat yang mengatur Pornografi Anak. Sementara kejahatan Pornografi Anak kian hari kian meningkat dan tidak terbendung lagi. Kita prihatin menyaksikan banyak korban berjatuhan.

HAK ANAK-ANAK KITA HARUS KITA PENUHI ..............MARI BERJUANG DEMI MEREKA

PROFIL SANGGAR

Bapak Badri Soleh,SE
Salam Sejahtera bagi kita semua
Assalamualaikum Wr.Wb
Dalam kesempatan ini saya berhadap bisa berkenalan sama Bapak/Ibu/ saudara sekalian bahwa sanya Lembaga yang saya bangun sejak awal 2007 dengan nama "Sanggar Anak Zaman Indonesia " atau (SAZI), lembaga ini pada awalnya saya dirikan dengan maksud membantu saudara-saudara kita yang secara nasip kehidupan kurang berungtung dari pada kita,  maka lahirlah SANGGAR ini, sanggar ini mulanya melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang putus sekolah dan sampai ke penanganan-penanganan masalah-masalah yang dihadapi si anak, hampir 3 tahun terahir ini Sanggar ini selalau mengalami pasang surut permasalahan yang di sebabkan makin banyaknya permasalahan-permasalahan yang bergejolah di internal dan ekternal tapi alhamdulillah dengan penuh semangat dan keikhlasan kami masih mampu eksis sampai hari ini maka dengan ini kami mohon motifasi dan doa serta partisipasi keluarga besar sanggar pada khususnya dan masyarakat indonesia pada umumnya kami diberi kekuatan melanjutkan perjuangan ini. kitanya ini saya bisa saya sampaikan di perkenalan ini semoga bermanfaat , Amin

Struktur
Ketua : Badri Soleh
Wakil Ketua : Nova indriani
Sekretaris : Rulia Diah Ningrum
Wakil Sekretaris : Ahmad
Bendahara : Etik Kristanti
Wakil Bendahara : Musyarofah

Program Kerja :
  1. Konsultasi permasalahan anak dan keluarga 
  2. Pelatihan keterampilan anak didik 
  3. Training Pendampingan
  4. Kajian dan menanamkan sikaf enterprenersip kepada anak didik 
  5. Membangun Komunitas/Jejaring akan pemberdayaan potensi anak didik 
  6. Pembangunan sanggar terpadu dan asrama buat tinggal anak didik yang kebetulan orang tuanya sudah meninggal dan tidak ada keluarga yang mau di ikuti



ಇನ್ತೆಲೆಗೆನ್ಸಿಯ ಮುಸ್ಲಿಂ